Senin, 16 April 2012

Melestarikan Rasa Malu


Pentingnya Rasa Malu
Malu adalah salah satu sifat manusia yang menjadikan manusia tidak enak melaukan sesuatu yang dibenci/ terlarang baginya.
Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’” (Riwayat Bukhori)
Malu meruakan tameng/ benteng manusia dari kejahatan. Maka dari itu, apa bila malu telah hilang dari diri manusia apalagi kaum, maka telah rusaklah manusia atau kaum tersebut.
Rasulullah SAW : "Kiamat tidak akan terjadi sampai rasa malu telah lenyap dari anak-anak dan perempuan." (Bihar Al-Anwar, cetakan baru, jilid VI, hal.315)
Diriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as bahwasanya beliau berkata, "Rasa malu itu ada sepuluh bagian. Sembilan bagian di antaranya ada pada perempuan, dan yang satu bagian ada pada kaum laki-laki. Jika perempuan sudah mulai haid, hilang satu bagian rasa malunya. Jika dia sudah menikah, hilang lagi satu bagian; jika dia sudah digauli hilang satu bagian lagi; dan jika melahirkan hilang lagi satu bagian. Sehingga rasa malunya hanya tinggal lima bagian. Dan jika dia menyimpang, maka rasa malu itu akan hilang semuanya. Tetapi bila tingkah lakunya baik, maka rasa malu itu masih akan tersisa lima bagian." (Bihar Al-Anwar, jilid VI, cetakan baru, hal. 244).
Imam Al-Baqir as mengatakan, "Rasa malu dan iman adalah dua hal yang dihubungkan oleh suatu poros. Jika salah satu di antaranya hilang, maka yang lain akan mengikutinya."
Sedangkan Imam Ja’far Ash-Shadiq as mengatakan, "Tidak beriman orang yang tidak memiliki rasa malu."
Telah terbukti di sini, bahwa malu adalah benteng dalam diri manusia. Apabila benteng itu telah tertembus, maka musuh akan semakin mudah menghancurkan suatu bangunan (iman kita). Na’udzubillah.
Maka dari itu, ini adalah perwujudan dari pentingnya rasa malu. Betapa tidak bermoralnya diri kita apabila sudah tidak memiliki rasa malu. Kita dapat berbohong seenaknya, mencuri sesukanya, memberontak seenaknya, dan lain sebagainya.
Maka, kita harus melestarikan rasa malu. Beberapa cara melestarikan rasa malu ialah :
1. Setiap orang seharusnya menyadari apa yang mereka katakan dan lakukan. Sehingga kita dapat menghindari diri dari sikap yang tidak baik. (muhasabah)
2. Apabila melihat orang lain berkata atau berbuat tidak baik, seharusnya kita mengatakan kepadanya (mencoba memberittahu apa yang dia lakukan sehingga dia tidak mengulanginya lagi.
3. Apabila melihat orang merasa malu untuk berbuat atau berkata buruk, maka kita seharusnya memberitahu dia supaya mempertahankan perilakunya tersebut.
Ingatlah, timbulnya rasa malu itu bermula dari mata, jadi apabila kita untuk melihat yang buruk saja tidak malu, bagaimana dengan rasa malu kita? Apakah kita sudah tidak mempunyai benteng lagi?
Perlu diingat, ada saat saat di mana tidak tepat untuk kita merasa malu, yaitu :
1. Tidak boleh malu untuk bertanya atau menambah ilmu yang belum diketahui. Apalagi dalam masalah agama. Karena tidak ada malu dalam masalah agama.
2. Malu dalam sesuatu yang sifatnya lahiriyah dan tidak bisa diubah kecuali atas kuasa Allah, seperti fisik manusia, hitam, gemuk, jelek, rambut keriting, dll.
Kita patut merasa malu apabila kita :
1. Terhadap manusia : mengerjakan sesuatu yang buruk dan dilihat manusia lain. Sepantasnya kita malu. Karena kita telah melakukan keburukan yang mungkin saja orang lain akan menirunya. Astaghfirullah.
2. Terhadap Allah : apabila kita melakukan perbuatan buruk dan tidak ada orang lain yang mengetahui. Ingatlah, bahwa Allah maha melihat. Seluruh perbuatan kita, baik ataupun buruk, Allah selalu tahu.
3. Terhadap diri sendiri : apabila kita melakukan perbuatan buruk dan tidak ada orang lain yang mengetahui. Sepantasnya kita malu terhadap diri sendiri karena kita telah melakukan sesuatu yang buruk.
Kesimpulanya, rasa malu yang sudah kita miliki, jangan sampai terkikis atau hilang sama sekali dari diri kita. Karena malu adalah benteng dari perbuatan buruk. Kita harus sealu memelihara rasa malu.

Sifat Malu Timbul Dari Keimanan

Dr Muhammad Usman Najati dalam bukunya Al Haditsun Nabawy Wa Ilmunnafs, Psikologi dalam tinjauan Hadits Nabi SAW menyatakan, rasa malu merupakan kondisi emosi yang dirasakan oleh seseorang sebagai akibat perbuatan tercela atau oleh perbuatan yang tidak bisa diterima baik secara agama maupun etika. Maka rasa malu bisa diketegorikan sebagai sifat terpuji, karena rasa malu itu bisa mencegah seseorang untuk terjerumus berbuat kesalahan, menjaga dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.

Dalam terminologi Islam, rasa malu disebut Al-haya-u, seperti disebutkan dalam sebuah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim: "Al-haya-u minal iman wal imanu fil jannah". Artinya: Sifat malu adalah dari iman dan keimanan itu (balasannya) di Syurga.

Pengertian malu disini adalah malu berbuat mungkar, malu melanggar perintah Allah dan RasulNya. Sifat mulia itu terhunjam dalam dirinya karena landasan keimanannya.

Berbicara tentang masalah malu ini, para sahabat Nabi SAW pun pada awalnya belum begitu memahami apa yang dimaksud dengan "malu" dalam pandangan Islam. Mereka baru memahaminya sebatas pengertian lughawi atau bahasa yakni merasa rendah diri dan sejenisnya. Untuk itu Nabi SAW mensabdakan sebuah hadis berasal dari Ibnu Mas?ud, diriwayatkan Tirmidzi, Ahmad dan Al-Hakim: Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar malu. Kami berkata, wahai Rasulullah kami sudah memiliki rasa malu, Rasulullah bersabda, bukan itu yang kumaksudkan. Akan tetapi malu kepada Allah SWT mengandung arti hendaklah kamu memelihara kepalamu dan seluruh organ yang ada di kepala (otak , mata, telinga, lidah, akal dalam operasionalnya bersama hati), memelihara perut dan seluruh organ yang ada disekitarnya (termasuk organ seks) dan hendaklah kamu ingat pada maut dan masa depanmu di alam kubur. Barangsiapa menginginkan akhirat, maka dia meninggalkan gemerlap dunia. Dan barangsiapa yang melakukan hal itu, maka dia telah benar-benar merasa malu kepada Allah SWT.

Dikaitkan dengan kondisi masyarakat kita sekarang ini, pemahaman terhadap hadis-hadis yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa menghadirkan rasa malu terhadap Allah SWT akan mengalami kendala jika tidak dapat mengatasi rasa malu kepada manusia, misalnya karena dianggap kurang berhasil dalam merebut status sosial keduniaan. Misalnya malu tidak memiliki rumah mewah dan benda-benda luks lainnya, malu tidak mampu menghabiskan masa cuti bersama keluarga ke luar negeri dan lain sebagainya. Sedangkan rekan sekantor, sama pangkatnya bisa hidup bergelimang kemewahan.

Lebih menyakitkan lagi mendengar omongan isteri atau orang lain bahwa dia bodoh tak pandai bermain. Sok suci. Padahal kemudian ternyata bahwa benda-benda mewah rekan tadi berasal dari penyelewengan wewenang dan jabatan. Akal yang harus dipelihara dan dijaga sesuai tuntunan Quran dan Hadis Nabi SAW ternyata dikalahkan hawa nafsu dan syetan, sehingga menyepelekan balasan di akhirat. Perutnya dan perut keluarganya diisi dengan yang haram. Tidak ada sedikitpun rasa malunya kepada Allah SWT.

Ditambah lagi fenomena dalam bermasyarakat dan bernegara yang semakin membingungkan. Korupsi cenderung dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Malah jika jumlahnya kecil dan ketahuan dianggap bodoh. Jika milyaran baru hebat apalagi bermainnya halus dan tidak terbongkar. Maka zaman sekarang ini ada yang menyebutnya sebagai zaman edan. Yang jujur terbujur, yang tidak jujur semakin makmur.

Hilangnya rasa malu itu terutama karena mengikutkan hawa nafsu tanpa kendali. Bahkan mungkin meningkat kepada taraf "menuhankan hawa nafsunya", sehingga ia menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsu keduniaannya itu. Jika akal tidak lagi digunakan tapi hanya naluri belaka turunlah derajat kemanusiaannya. Seolah-olah seperti hewan atau lebih sesat lagi. Hal seperti inilah yang diperingatkan Allah SWT antara lain dalam QS Al-Furqon ayat 43-44: Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya (hawa nafsunya) sebagai Tuhannya. Atau apakah engkau mengira kebanyakan mereka mendengar atau memahami. Maksudnya dibacakan pun ayat-ayat Al Quran kepada mereka, mereka tidak perduli. Mereka itu hanyalah seperti hewan ternak bahkan lebih sesat jalannya.

Berabad-abad yang lalu Nabi SAW telah mensinyalir akan datang suatu masa dimana orang tidak lagi mempunyai sifat malu berbuat mungkar. Dalam sebuah hadis diriwayatkan Ahmad, Nabi SAW bersabda: Ya Allah, jauhkanlah aku dipertemukan dengan suatu masa yang di dalamnya orang-orang tidak lagi mengikuti Yang Maha Mengetahui dan tidak malu kepada Yang Maha Penyantun.

Terbukti kiranya datanglah masanya sekarang ini banyak orang kehilangan rasa malu. Hilang malunya kepada Allah, juga hilang malunya kepada sesama manusia. Ada yang tega memperkosa anak gadisnya sendiri. Tidak terhitung banyaknya kaum wanita Islam memakai pakaian membuka aurat. Tidak malu melahirkan anak haram. Jika dia seorang pejabat pemerintah, tidak malu, tak mampu mewujudkan janjinya sewaktu Pilkada. Legislator tidak malu terlibat skandal seks. Tidak malu ikut memarakkan korupsi di negara kita ini, sehingga cenderung tidak jelas dalam tatanan pemerintahan kita siapa yang mengawasi, siapa pula yang diawasi. Dan lain sebagainya.***
E-mail
Print
PDF


Di antara keistimewaan agama Islam kita adalah perhatiannya kepada moral dan akhlak yang mulia. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak." (HR. Ahmad).
Ketika Nabi Muhamad Shallallaahu alaihi wa Sallam diutus, beliau mengakui dan menetapkan akhlak mulia dan budi pekerti yang ada pada masyarakat Jahiliyyah. Sebaliknya, beliau berupaya menghapus semua akhlak dan prilaku rendahan mereka, dan meluruskan apa yang perlu diluruskan. Di antara akhlak mulia yang dipegang teguh oleh masyarakat Jahiliyah adalah "kecemburuan".
Seorang lelaki sangat cemburu terhadap kaum wanita mahram mereka. Bahkan ada sebagian dari mereka yang kecemburuannya berlebihan, hingga sanggup menguburkan putrinya hidup-hidup, karena khawatir kalau sudah dewasa akan berbuat sesuatu yang memalukan. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkan perbuatan tersebut dan melestarikan rasa cemburu (ghairah) dengan menjadikannya sebagai sebahagian dari cabang iman.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang ertinya, "Tiada sesuatu apapun yang lebih cemburu dibanding Allah." (HR. Ahmad dan Al-Bukhari). "Sesungguhnya Allah cemburu dan orang beriman pun cemburu. Allah akan cemburu apabila seseorang melakukan apa yang Dia haramkan." (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim). Pernah suatu saat, ketika terjadi gerhana matahari, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda di dalam khutbahnya, "Wahai umat Muhammad, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu dibanding Allah." (Muttafaq 'alaih)
Suatu ketika, Sa'ad bin Ubadah berkata, "Seandainya aku menemukan seorang laki-laki bersama isteriku tentu aku tebas ia dengan pedang, bukan dengan lempengnya tetapi dengan mata pedangnya". Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, "Apakah kalian merasa heran dengan kecemburuan Sa'ad? Sesungguh-nya aku lebih cemburu dibanding dia, dan Allah lebih cemburu dibanding aku." (Muttafaq 'alaih) Para shahabat nabi benar-benar berpegang teguh kepada sikap (rasa) kecemburuan ini, karena cemburu (ghairah) mempunyai kedudukan yang sama dengan kewajiban dan cabang-cabang iman lainnya.
Maka tidak aneh apabila ada salah seorang di antara mereka yang membunuh atau dibunuh karena kecemburuan yang ia pelihara. Ibnu Hisyam meriwayatkan, bahwa ada seorang wanita Arab membawa barang dagangannya untuk dijual di Pasar Bani Qainuqa' (salah satu suku Yahudi Madinah). Ia duduk berdekatan dengan tukang perhiasan emas dan perak. Lalu sekelompok orang Yahudi datang dan bermaksud akan menyingkap wajahnya, namun wanita itu menolak keras. Kemudian, secara diam-diam si tukang perhiasan tadi mengikatkan hujung pakai wanita itu kepunggungnya, sehingga ketika si wanita itu berdiri auratnya tersingkap dan ia pun berteriak. Mendengar jeritan itu, seorang lelaki muslim melompat menyerang dan menindih lalu menghabisi nyawa tukang perhiasan jahat tadi. Akibatnya, sekelompok orang Yahudi menge-royok lelaki muslim itu hingga tewas.
Mendengar peristiwa itu, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam langsung berangkat bersama sejumlah pasukannya dan mengepung Bani Qainuqa', sehingga akhirnya mereka menyerah dan Nabi mengusir mereka ke Negeri Syam. Para ulama terdahulu (salaf) dan kaum muslimin menjunjung tinggi sikap mulia ini (cemburu), mereka tidak pernah menganggapnya remeh meskipun di dalam masa-masa tertindas. Ketika kaum salibis Nasrani menjajah sebahagian negeri mereka selama hampir dua abad lamanya, suatu rentan waktu yang cukup panjang dan keadaan kaum muslimin telah dianggap rapuh serta lemah, sedang-kan kaum salibis kuat dan akan tetap tinggal di negeri jajahan itu sampai turunnya Isa al-Masih.
    Namun kenyataannya, kaum muslimin tetap tegar memegang teguh sikap (rasa) kecemburuan. Sementara itu, kaum Nasrani salibis sama sekali tidak mempunyai rasa cemburu (dayus). Seorang di antara mereka berjalan-jalan bersama istrinya, lalu di tengah jalan sang istri berjumpa dengan teman lelakinya, maka sang suami menyingkir untuk memberi kesempatan kepada istrinya bersukaria dengan lelaki tadi. Semoga Allah melindungi kita. Sungguh sangat memprihatinkan, di negara kita yang berpenduduk majoriti muslim ini sudah terlalu jauh meninggalkan rasa cemburu. Pergaulan bebas dan bercampur antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram sudah menjadi tradisi, bahkan banyak orang tua yang membiarkan putrinya keluar malam bersama lelaki "buayafriend" hingga larut malam. Dan yang lebih parah lagi adalah adanya sebahagian orang tua yang membiarkan putrinya hamil di luar nikah tanpa ada rasa malu sedikitpun, apa lagi mau cemburu! Malah bangga, kerana putrinya sudah mempunyai kekasih "buayafriend", dengan alasan berkawan.
Padahal Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda, yang bermaksud: "Ingatlah! Tiada seorang lelaki yang berdua-duaan dengan seorang wanita melainkan syaitanlah yang menjadi pihak ke tiganya." (Riwayat Ahmad dan at Tirmidzi) Sebahagian lagi ada yang acuh tak acuh, bahkan bangga kalau putrinya berpakaian setengah badan lagi span, hingga tampak seksi dan menggiurkan lawan jenisnya. Na'udzubillah. Sungguh betapa makin jauh umat ini dari akhlak yang mulia dan dari tuntunan agamanya, termasuk diantaranya rasa cemburu. Termasuk bentuk terkikisnya rasa cemburu adalah,apabila seorang lelaki membiarkan istri atau wanita yang menjadi tanggung jawabnya keluar rumah dengan membuka pakaian hijab/jilbab, menampakkan sebahagian auratnya atau menampakkan bentuk tubuh dan warna kulitnya. Termasuk juga membawa istrinya ke tempat-tempat umum yang terjadi ikhtilat di sana seperti pesta-pesta, sehingga istrinya menjadi sorotan dan sasaran pandangan kaum lelaki lain, juga membiar-kan mereka melakukan safar (perjalanan jauh) tanpa disertai mahram.
Rasulullah S.A.W bersabda, ertinya, "Jangan sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita, melainkan dia beserta mahramnya dan janganlah seorang wanita itu melakukan safar (perjalanan jauh), kecuali bersama mahramnya". Maka seorang lelaki berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah sesungguh-nya istriku pergi haji, sedangkan aku sendiri telah diwajibkan ikut di dalam peperangan ini ," maka beliau bersabda, ertinya, "Pergilah berangkat haji bersama istrimu." (HR al Bukhari-Muslim)
Gambaran-gambaran di atas merupakan ilustrasi riil dari keadaan yang ada di beberapa Negara Islam atau yang majoriti penduduknya muslim.
Kedudukan Rasa Malu
Malu adalah cabang dari cabang-cabang iman sebagaimana hal itu diriwayatkan di dalam sebuah hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam Maka barang siapa sedikit rasa malunya berkuranglah keimanannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ertinya, "Rasa malu itu tidak datang melainkan dengan membawa kebaikan." Dan di dalam satu riwayat Muslim: Artinya,"Rasa malu itu baik semuanya," atau beliau bersabda, "Semuanya adalah baik" Berkata Salman al Farisi, "Sesung-guhnya apabila Allah menghendaki kehancuran seorang hamba, maka Dia cabut rasa malu dari dirinya. Jika rasa malu telah tercabut darinya, maka ia tidak menemui Allah, melainkan di dalam keadaan terlaknat dan dimurkai" Seorang penyair berkata, "Maka demi Allah, tidak ada lagi kebaikan dalam kehidupan Dan dalam dunia ini, …bila rasa malu telah pergi.. Orang itu akan hidup dengan baik selagi memiliki rasa malu"  "Sebagaimana ranting kayu akan lestari jika kulitnya masih abadi"...
Penyair lain berkata: Sesungguhnya aku melihat bahawa orang yang tidak memiliki rasa malu Dan tidak pula (memiliki) amanah Ibarat orang telanjang ditengah-tengah manusia.
Sebab-Sebab Rendahnya Rasa Malu (terutama pada wanita) disebabkan oleh banyak faktor, antara lain ialah:-
1.Tidak adanya pendidikan secara serius semenjak kecil, karena orang yang terbiasa dengan sesuatu, pada masa mudanya akan terbawa terus hingga masa tuanya. Sesungguhnya ranting-ranting itu akan tegak lurus Manakala engkau meluruskannya (dimasa tumbuh) Namun ia tidak bisa diluruskan Ketika sudah menjadi kayu.
2.Seringnya wanita bergaul dan berbincang-bincang dengan laki-laki ajnabi (yang bukan mahramnya).
3.Seringnya bergaul dengan orang- orang yang sedikit rasa malunya atau seringnya melihat mereka. Hal ini bisa melalui acara melancong ke luar negeri, bertemu di pasar, pusat-pusat membeli-belah atau juga melalui media tontonan.
4.Termasuk faktor yang terpenting juga adalah, seringnya wanita ke luar rumah. Allah berfirman,ertinya, "Dan berdiamlah kamu (istri-istri Nabi) di rumah-rumah kamu." Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam juga bersabda, ertinya, "Wanita itu adalah aurat. Sesungguhnya apabila ia keluar maka syaitan membuntutinya dan sesungguhnya dia tidak lebih dekat kepada Allah dibanding (ketika) ia berada di tengah-tengah rumahnya."
Juga sabdanya yang lain, ertinya, "Janganlah kamu melarang istri-istrimu (mendatangi) masjid, sedang rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka." (HR Ahmad dan Abu Dawud) Al Hafizh ad Dimyati berkata, "Ibnu Khuzaimah dan para ulama menyatakan bahwa solatt wanita di rumahnya lebih baik dibanding solatnya di masjid, meskipun masjid, al-Haram Makah, masjid Nabawi Madinah atau masjid al Aqsha. Marilah kita berusaha membuktikan persaksian kita bahwa Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah Rasulullah dengan cara mempercayai apa yang beliau khabarkan, mentaati apa yang beliau perintahkan dan menjauhi semua yang beliau larang. Jangan sampai kita menyalahi perintahnya kerana mengikuti hawa nafsu atau kerana pengaruh seseorang atau kerana sebab-sebab lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, ertinya, "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih." (an Nur 63).
Sumber:
Nasyrah Darul Wathan Riyadh "al ghairah wal haya' terjemah Agus Hasan Bashori dengan sedikit penyesuaian bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar