KAROMAH
SYEKH KHOLIL
Pada bab III,
buku “Surat Kepada Anjing Hitam” menceritakan
29 cerita karomah Syekh Kholil, namun saya
kutib yang 16 saja. Dalam buku itu ditulis:
Pengertian Karomah
Istilah
karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan
karomah dengan keramat diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar
kemampuan manusia biasa karena
ketaqwaanya kepada Tuhan. [Dept. P&K, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, halaman 483]
Ajaran
Islam memaksudkan sebagai “Khariqun lil adat”, yaitu kejadian yang luar biasa pada seorang wali Allah. Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi
mengartikan kata karomah adalah perkara luar
biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh
Al-Jazairi, Jawahirul Kalamiyah, terjemahan
Jakfar Amir, Penerbit Raja Murah Pekalongan, hal. 40]
Sedangkan,
Imam Qusyairi menjelaskan karomah sebagai
penampakan karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan
kelakuan seseorang. Barangsiapa yang tidak benar sikap dan kelakuannya, maka
tidak dapat menunjukkan kekaromahannya. Dan Allah yang maha Qodim memberi tahu
kepada kita agar membedakan orang yang benar dan mana yang batil. [Abul Qosim
Abdul Karim Hawazim Qusyairi Naisabury, Risaltul Qusyairiyah, Darul Khoir,
halaman 353]
Dengan
demikian, istilah karomah dapat disimpulkan sebagai kejadian yang luar biasa
pada seseorang yang merupakan anugerah dari Allah dikarenakan ketaqwaanya.
1. PENCURI TIMUN
TIDAK BISA DUDUK
Diantara
karomahnya adalah pada suatu hari petani
timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen
selalu kedahuluan dicuri maling.
Begitu peristiwa itu terus
menerus. Akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke
Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya Kiai sedang
mengajarkan kitab nahwu[5].
Kitab tersebut bernama Jurmiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikum
salam, “ Jawab Kiai Kholil.
Melihat
banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya :
“Sampean
ada keperluan, ya?”
“Benar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu
dicuri maling, kami mohon kepada Kiai
penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai
pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya
“zaid telah berdiri”. Lalu serta merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk
kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya..,
Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai
penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap.
“Sudah,
pak Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya.
“Ya
sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan. Mereka
puas mendapatkan penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal
dari Kiai Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah
masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus
tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua
maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat
ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri
dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama
semakin banyak.
Satu-satunya
jalan agar para maling itu bisa duduk,
maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba
di kediaman Kiai Kholil, utusan itu
diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial
itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal
dan berjanji tidak akan mencuri lagi di
ladang yang selama ini menjadi sasaranempuk
pencurian. Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan
menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka
menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke
pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren
dipenuhi dengan timun.
2. DIDATANGI MACAN
Diantara
karomahnya, pada suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santri-santrinya. “Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat
penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang
harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke
pondok kita ini.” Kata Kiai Kholil agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat
dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi
macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu
ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus,
tidak berapa tinggi berkulit kuning
langsat sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Kiai
Kholil, lalu mengucap salam
“Assalamu ‘alaikum,” ucapnyaagak pelan dan sangat sopan.
Mendengar salam
itu, bukan jawaban salam yang diterima,
tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya,
“Hey santri semua, ada macan.. macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Kiai
Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar
teriakan Kiai kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa
apa yang ada, pedang, clurit, tongkat,
pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai
nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah.
Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru
pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur
ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena
lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur
di bawah kentongan surau.
Secara
tidak diduga, tengah malam Kiai Kholil datang dan membantu membangunkannya.
Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai Kholil.
Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah
resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari
santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu
pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di mana-mana selalu
berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan,
seperti yang diisyaratkan Kiai Kholil.
3. KETINGGALAN KAPAL LAUT
Kejadian ini pada musim haji. Kapal
laut pada waktu itu, satu-satunya
angkutan menuju Makkah, semua penumpang calon haji naik ke kapal
dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang
wanita berbicara kepada suaminya :
“Pak, tolong
saya belikan anggur, saya ingin sekali,”
ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau
begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” jawab
suaminya sambil bergegas di luar kapal.
Setelah suaminya
mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak
ditemui penjual anggur seorangpun.
Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya
tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa
gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia
segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya
setelah sampai ke ajungan kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin
menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Duduk termenung tidak tahu apa
yang mesti diperbuat.
Disaat duduk memikirkan nasibnya,
tiba-tiba ada seorang laki-laki datang
menghampirinya. Dia memberikan
nasihat: “Datanglah kamu kepada Kiai
Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu !”
ucapnya dengan tenang.
“Kiai Kholil?” pikirnya.
“Siapa dia, kenapa harus kesana,
bisakah dia menolong ketinggalan saya
dari kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Kiai kholil minta
tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah.” Lanjut
orang itu menutup pembiocaraan.
Tanpa pikir
panjang lagi, berangkatlah sang suami
yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya :
“Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu
menceritakan apa yang dialaminya mulai
awal hingga datang ke Kiai Kholil.
Tiba-tiba Kiai berkata :
“Lho, ini bukan urusan saya, ini
urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembai dengan tangan
hampa.
Sesampainya di
pelabuhan sang suami bertemu lagi
dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke
Kiai Kholil lalu bertanya: ”Bagaimana? Sudah bertemu Kiai Kholil ?”
“Sudah, tapi
saya disuruh ke petugas pelabuhan”
katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Kiai Kholil !”
ucap orang yang menasehati dengan tegas
tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Kiai
Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ke tiga kalinya,
Kiai Kholil berucap, “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya
bantu sampeyan.
“Terima kasih Kiai,” kata sang suami
melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya.” Ucap Kiai
Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya.”
Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Kiai
berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang
dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya
sudah meninggal. Apakah sampeyan
sanggup?” pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.
“Sanggup, Kiai, “ jawabnya spontan.
“Kalau begitu
ambil dan pegang anggurmu pejamkan
matamu rapat-rapat,” Kata Kiai Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan
perintah Kiai Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka
matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal lalu
yang sedang berjalan. Takjub heran
bercampur jadi satu, seakan tak
mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok
matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang
berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya,
dik. Saya beli anggur jauh sekali” dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah
datang dari arah bawah
kapal. Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selam hidupnya. Terbayang
wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang alalu,
sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang
sangat luar biasa.
4. SANTRI
MIMPI DENGAN WANITA.
Dan
diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari
Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat subuh
berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas,
tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita.
Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil,
istri gurunya.
Menjelang
subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya
berucap:
“Santri
kurang ajar.., santri kurang ajar..“
Para santri
yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya,
apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu. Subuh itu Bahar
memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu
masjid.
Seusai sholat
subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya :
“Siapa santri
yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai
Kholil nada menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak
menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri,
mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu
hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan
kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada bahar seraya
berkata:
“Bahar,
karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah
dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini” Perintah Kiai Kholil.
Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang
dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat
kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu
yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik.
“Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai.” Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
“Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis.” Perintah Kiai kepada
Bahar.
Sekali
lagi santri Bahar dengan patuh menerima
hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang
kedua, santri Bahar lalu disuruh makan
buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia.
Mendengar perintah ini santri Bahar
melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri
Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap: “Hai santri, semua ilmuku sudah
dicuri oleh orang ini.” Ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan
perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai
Kholil menuju kampung halamannya.Memang benar, tak lama setelah itu, santri
yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok
pesantren besar di Jawa Timur. Kia
beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya
di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.
5. KIAI KHOLIL MASUK PENJARA
Diantara karomahnya dikisahkan:
Beberapa pelarian pejuang
kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di Pesantren Kiai Kholil. Kompeni Belanda
rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda
berupaya keras untuk menangkap para pejuang kemerdekaan yang
bersembunyi itu. Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin, setelah yakin bersembunyi di pesantren, tentara belanda
memasuki pesantren Kiai Kholil. Seluruh pojok pesantren digerebek. Ternyata
tidak menemukan apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah besar. Karena
kejengkelannya, akhirnya membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk
ditahan. Dengan siasat ini, mereka berharap ditahannya Kiai Kholil, para pejuang segera menyerahkan diri. Ketika Kiai
Kholil dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa perisriwa ganjil mulai
muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Mula-mula ketika
Kiai Kholil masuk ke dalam tahanan,
semua pintu tahanan tidak bisa ditutup.
Dengan demikian pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus menerus.
Kompeni Belanda harus berjaga siang dan malam secara terus menerus. Sebab jika
tidak, maka tahanan bisa melarikan diri.
Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan, ribuan orang
Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan ke Kiai Kholil. Kejadian ini membuat kompeni merasa
kewalahan mengatur orang sebanyak itu. Silih berganti setiap hari terus
menerus. Akhirnya, kompeni membuat larangan berkunjung ke Kiai Kholil.
Pelarangan itu, rupanya tidak menyelesaikan
masalah. Masyarakat justru datang setiap harinya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan, banyak yang minta
ditahan bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai Kholil ini jelas
membuat Belanda makin kewalahan. Kompeni
merasakhawatir, kalau dibiarkan berlarut larut suasana akan semakin
parah. Akhirnya, daripada pusing memikirkan
hal yang sulit dimengerti oleh akal itu, kompeni belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja.
Setelah kompeni
mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua kegiatan berjalan
sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu
penjara, sudah bisa ditutup kembali serta para pengunjung yang berjubel
disekitar penjara, kembali pulang kerumahnya masing-masing.
6.
RESIDEN BELANDA
Dan diantara
karomahnya, suatu hari, Residen Belanda
yang ditempatkan di Bangkalan mendapat surat yang cukup mengejutkan dari pemerintah Colonial
Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya sebagai
Residen di Bangkalan. Padahal jabatan itu masih diinginkan dalam beberapa saat.
Residen itu berkata dengan Residen
belanda yang lainnya. Hati nurani Residenyang satu ini tidak pernah
menyetujui penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, Residen
belanda yang simpati kepada bangsa Indonesia mau berkorban apa saja asalkan
tetap memangku jabatan di Bangkalan, Kebetulan sang Residen mendengar kabar
bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai dan sakti mandraguna[12]. Tanpa pikir panjang lagi, sang Residen segera
pergi untuk menemui orang yang
diharapkan kiranya dapat membantu mewujudkan keinginannya itu.
Maka,
berangkatlah sang Residen itu ke Kiai Kholil
dengan ditemani beberapa kolegannya. Sesampainya di kediaman Kiai Kholil, sang Residen Belanda langsung menyampaikan hajatnya itu.
Kiai Kholil tau siapa yang dihadapinya itu, lalu dijawab dengan
santai seraya berucap :
“Tuan, selamat.., selamat..,
selamat..” Ucapnya dengan senyuman yang
khas. Residen Belanda merasa puas
terhadap jawaban Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.
Selang beberapa hari setelah
kejadian itu, sang Residen menerima surat dari pemerintah Belanda yang isinya
pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian
atas dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan demikian,
dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan.
Sejak peristiwa
itu, Kiai kholil diberi kebebasan melewati
seluruh daerah Bangkalan. Bahkan, Kiai Kholil
bisa menaiki dokar seenaknya melewati daerah terlarang di
Keresidenan Bangkalan tanpa ada yang
merintanginya. Baik residen maupun aparat
Belanda semuanya menaruh hormat kepada Kiai Kholil. Seorang Kiai
yang dianggap memiliki kesaktian luar biasa.
7. SURAT KEPADA ANJING HITAM
Musim haji telah tiba. Sebagaimana
biasanya, penduduk daerah Bangkalan yang
akan menunaikan ibadah haji terlebih dahulu sowan kepada Kiai Kholil. Fulan calon jamah haji Bangkalan. Menjelang
keberangkatannya, terlebih dahulu menyempatkan sowan ke Kiai Kholil. Kiai,
ketika melihat diantara tamu terdapat si Fulan, maka segera menyuruh mendekat.
“Fulan,
ini surat. Sesampainya di Masjidil Haram, berikan surat ini kepada
anjing hitam.” Pesan Kiai kepada si Fulan dengan datar.
“Ya, Kiai. Saya akan menyampaikan
surat ini.” Jawab si Fulan tanpa berani menatap dan bertanya kenapa Kiai menyuruh demikian. Sesusai
sowan kepada Kiai, Fulan langsung pulang ke rumahnya. Berbagai
kecamuk dan pertanyaan dibenakknya.
Hari
keberangkatan pun tiba. Dengan niat yang ikhlas,
Fulan berangkat ke tanah suci. Sesampainya di Makkah, Fulan menunaikan Ibadah
hajinya dengan baik. Sungguhpun demikian, Fulan belum tenang kalau amanat yang
dipesankan Kiai Kholil belu dilaksanakan. Segera fulan pergi ke halaman
Masjidil Haram, terdorong karena patuhnya kepada Kiai Kholil, ingin segera
menyampaikan pesan yang sangat aneh ini. Tapi bagaimana caranya?
Tak disangka,
ditengah keasyikannya merenung itu. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, didepannya sudah
berdiri seekor anjing hitam. Tanpa pikir panjang lagi, Fulan segera
meraih surat yang ada di sakunya. Seketika itu juga, disodorkannya surat itu
kepada anjing hitam. Telinga anjing itu bergerak-berak, lalu menggigit surat
itu pelan-pelan. Beberapa saat anjing
itu menatap tajam wajah si Fulan seolah-olah ingin mengungkapkan rasa terima kasih. Setelah itu dengan langkah
tenang dan wibawa, sang anjing hitam itu meninggalkan Fulan yang masih terpana.
Dipandangnya anjing itu hingga tidak terlihat lagi dari pandangan mata Fulan.
Fulan merasa lega. Sebab, amanat
yang tidak dipahami itu sudah ditunaikan. Waktu pun bergulir hingga selesailah
ibadah Rukun Islam yang kelima itu.
Semua jamaah haji seantero dunia pulang ketanah airnya
masing-masing begitu pula dengan fulan pulang ke Bangkalan.
Bagi fulan, sungguhpun sudah selesai
ibadah haji, namun kecamuk surat
misterius itu masih melekat di
benaknya. oleh sebab itu, setibanya di Bangkalan, pertama kali yang
ditemuinya adalah Kiai Kholil.
“Sudah disampaikan surat saya,
Fulan?” Kata Kiai menyambut kedatangan Fulan.
“Sudah, Kiai.”
Tegas fulan lega. “Tapi, Kiai..” Kata
fulan agak tersendat-sendat
“Ada apa Fulan?” Kata Kiai Kholil
tanpa menunjukkan ekspresi yang aneh. “Kalau
boleh Tanya, kenapa Kiai mengirim
surat kepada anjing hitam?” Tanya si Fulan terheran-heran.
“Fulan, yang kamu temui itu bukan
sembarang anjing. Dia adalah salah seorang wali Allah yang menyamar sebagai
anjing hitam yang menunaikan Ibadah haji tahun ini.” Jelas sang Kiai.
Mendengar keterangan Kiai
Kharismatik itu, si Fulan baru memahami dan menyadari apa yang ada dibalik
peristiwa itu. Dan sifulan pun hanya bisa
menganggut sambil mengenang saat sang anjing berhadapan dengan
dirinya.
8. ORANG ARAB DAN MACAN TUTUL
Dan diantara karomahnya, suatu hari
menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah sholat
bersama para santri Kedemangan. Bersamaan
dengan Kiai Kholil mengimami sholat,
tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya
Habib.
Seusai
melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamu-tamunya, termasuk orang Arab yang
baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab], habib tadi
menghampiri Kiai Kholil seraya berucap :
“Kiai,
bacaan Al-Fatihah antum (anda) kurang fasih.” Tegur Habib.
“O.. begitu?!” Jawab Kiai Kholil dengan tenang.
Setelah
berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk
melaksanakan sholat magrib. “Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu, Habib.
Silahkan ambil wudlu di sana.” Ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat wudlu.
Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan
tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk
mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa
Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut di sekitar
tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab
keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang
fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil
yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh.
Dengan kejadian
ini, Habib paham bahwa sebetulnya
Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan
bukan terletak antara fasih dan tidak fasih,
melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
9. TONGKAT KIAI KHOLIL DAN SUMBER
MATA AIR
Dan diantara karomahnya, pada suatu
hari. Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh,
tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan
perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah
lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah
sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan
karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa
dipakai untuk minum dan mandi. Lebih dari itu; sumber mata airnya dapat
menyembuhkan pelbagai macam penyakit[15].
Kolam
yang bersejarah itu, sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya
Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya
sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai Kholil
Bangkalan. Banyak orang yang datang dari jauh hanya sekedar untuk minum dan
mandi. Mereka yakin bahwa air yang ada di sumber mata air di Langgundi itu,
adalah jejak karomah-karomah Kiai Kholil yang diyakini membawa berkah.
“Karaamah” merupakan mashdar
dari “karuma”, maka “karaamah” berarti kemuliaan, yakni kemuliaan yang diberikan oleh Allah pada seorang
shaleh yang dicintai-Nya.
Sebernarnya karomah hanyalah sebuah istilah, sebagaimana mu’jizat
diistilahkan untuk Nabi.
Khoriqun lil’adah: luar biasa. Sebenarnya
banyak hal luar biasa yang terkadang
kurang dianggap luar biasa oleh kebanyakan orang, sehingga banyak karomah yang
dimiliki oleh para ulama tapi tidak dipandang sebagai karomah. Misalnya karya
ilmiyah keislaman. Suatu contoh Al-Imam An-Nawawi dan Al-Imam As-Suyuthi,
dengan umur yang relatif sedikit mereka
telah mampu menulis kitab puluhan ribu halaman pada zaman belum ada
alat tulis yang cukup. Dengan kondisi
seperti itu, akal kita tidak akan mampu menggambarkan bagaimana
mereka menulis kitab sebanyak itu, dan
itu berarti semua itu adalah luar biasa. Maka tentu saja keluarbiasaan
itu sangat layak untuk disebut karomah, bahkan lebih layak daripasa
sekedar bisa terbang dan sebagainya. Dari itu dalam catatan kaki ini saya lebih menekankan pada pemahaman bahwa
karomah berupa karya ilmu dan pendidikan itu
lebih utama daripada karomah yang “aneh-aneh”, dan Syekh Kolil memiliki
“karomah utama” itu. Saya tidak mau ada
yang mengatakan bahwa Syekh Kholil
hanya dikagumi oleh orang awam yang suka dengan cerita-cerita aneh.
Syekh kholil memiliki keistimewaan yang patut dikagumi oleh kaum ulama, intelektual, budayawan dan kalangan apapun yang mendahulukan
ilmu dan pendidikan. Syekh Kholil memiliki prestasi yang tidak masuk akal dalam dunia pendidikan, ribuan pesantren didirikan oleh ribuan ulama hasil didikan
beliau. Angka yang tidak masuk akal itu menjadi lebih menakjubkan karena yang
dihitung adalah wujud kesuksesan dalam pendidikan dan da’wah Islam, prestasi
yang paling tinggi dalam dunia ibadah dengan angka yang luar biasa. Inilah
karomah tertinggi Syekh Kholil, sehingga seandainya beliau tidak memiliki
karomah yang aneh-aneh maka hal itu sama sekali tidak mengurangi bukti
“kewalian” beliau. Dengan ribuan pesantren itu kita tidak perlu mencari cerita aneh beliau untuk membuktikan
bahwa beliau adalah kekasih Allah.
Saifur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun
1999, halaman 31-32.
Maksudnya kebetulan Syekh Kholil sedang
mengajar kitab nahwu. Sebagian orang
menganggap pelajaran nahwu itu sebagai pelajaran tersulit, sehingga
terkesan bahwa orang yang paling alim adalah yang paling ahli nahwu. Padahal
nahwu hanyalah pelajaran bahasa yang berarti pelajaran tahap awal bagi yang
ingin dapat membaca dan berbicara bahasa Arab. Ketika Syekh Kholil sering
disebut-sebut sebagai ahli Nahwu, maka sebagian orang yang menganggap ilmu
nahwu tidak terlalu rumit merasa Syekh Kholil tidak luar biasa jika hanya
karena ilmu nahwu. Maka dari itu, saya ingin tegaskan bahwa ilmu nahwu bagi Syekh Kholil bukan “ilmu pamungkas”.
Beliau mendapatkan derajat tinggi bukan karena beliau dikenal dengan ilmu nahwunya, karena ilmu nahwu
sifatnya hanya ilmu alat dan perantara. Beliau mendapatkan derajat tiggi karena
ilmu yang utama, yaitu ilmu mengenal Allah dan syari’at-Nya. Ketika diceritakan bahwa Syekh Kholil sangat pakar dalam
ilmu nahwu, maka kita dapat
menyimpulkan bahwa kalau ilmu
alatnya saja beliau begitu menekuni sampai paham setiap permasalahannya dan
hafal di luar kepala, maka apalagi dengan ilmu syari’atnya, tentulah beliau
lebih luas lagi dalam ilmu syari’at yang beliau anggap sebagai tujuan utama.
Ada yang
bertanya mengapa Syekh Kholil tidak menggunakan
ayat-ayat Al-Qur’an atau doa-doa ma’tsurat saja, mengapa beliau
menggunakan kalimat yang justru tidak ada hubungannya dengan permasalahan,
tidakkah itu termasuk bid’ah? Maka untuk pertanyaan itu saya jawab dengan
berikut:
1. Syekh Kholil sedang membahas lafazh “qoma zaidun” maka beliau bermaksud bergurau dengan santri-santri
beliau yang sedang tegang mempelajari ilmu nahwu, karena tamu-tamu itu adalah para petani yang tidak
mengerti arti “qoma zaidun”. Dari sini kita
dapat menilai karakter Syekh Kholil, berartibeliau seorang ulama yang
berwibawa dan terkadang humoris, sebuah
karakter yang disukai banyak orang.
2. Qoma zaidun” yang diucapkan Syekh kholil adalah
merupakan bahasa kinayah, di mulut beliau menyebut “zaidun” akan tetapi di hati beliau bermaksud“pencuri timun”,
sedangkan jumlah fi’il-fa’il dimaksudkan
“jumlah du’aiyyah”. Maka artinya adalah “semoga pencuri timun itu
berdiri.”
3. Para petani dibiarkan membaca
“qoma zaidun” karena mereka memang tidak mengerti
bahasa Arab, maka sudah pasti ketika
mereka membaca “qomazaidun” maka di
hati mereka bermaksud berdoa sebagaimana doa Syekh Kholil. Maka ketika
para petani membaca “qoma zaidun”,
sebenarnya bacaan ituberarti mengamin doa Syekh Kholil, seolah-olah
mereka berkata “saya berdoa sebagaimana doa Syekh Kholil”. Dan wajarlah kalau
Allah-pun mendengar doa Syekh Kholil yang diamini oleh para petani itu.
Dengan demikian, maka tidak ada kejanggalan dari cerita diatas
untuk dihujat sebagai bid’ah. Ini adalah analisa saya, berangkat dari husnuzhon saya kepada ulama semisal Syekh
Kholil. Sesuai dengan ajaran Rasulullah:
كُنْ
كَالْمُؤْمِنِ يَطْلُبُ الْمَعَاذِرَ، وَلاَتَكُنْ كَالْمُنَافِقِ يَطْلُبُ
الْمَعَايِبَ
“Jadilah
sebagai orang mukmin yang selalu mencari alasan baik. Dan janganlah menjadi sebagai orang munafiq
yang suka mencari aib.”
[7] Banyak
terjadi perlakuan aneh dari Ulama zaman dahulu, baik pada santri maupun tamu. Dalam
cerita diatas kita dapat menebak bahwa apa
yang dilakukan Syekh Kholil adalah merupakan firasat dan memberi
ujian. Syekh memiliki firasat tentang pemuda
Wahab Hasbullah, kemudian beliau bermaksud menguji kesungguhan pemuda
itu untuk belajar pada beliau. Hal seperti ini dapat terjadi antara guru dan murid yang memiliki hubungan kecintaan kepercayaan yang kuat. Makanya tidak ada
seorang kiai yang menguji diluar kemuampuan muridnya, terbukti sang
murid lulus walaupun terkadang ujiannya tidak masuk akal. Bagi orang yang belum
pernah merasakan kecintaan dan kepercayaan yang kuat terhadap guru, hal seperti
ini bisa saja dianggap berlebihan. Akan tetapi fakta membuktikan bahwa semua
ulama besar tidak sekedar dibesarkan oleh ilmu yang dipelajari dari gurunya, melainkan lebih dibesarkan oleh keberkahan berkat
cinta dan percaya yang amat kuat kepada gurunya.
[8] Suami
itu sebenarnya tidak paham yang dimaksud minta tolong kepada Syekh Kholil, dia pikir Syekh Kholil dapatmenolongnya
secara tehnis, sedangkan yang dimaksud oleh orang yang menunjukkan tadi adalah
meminta doa kepada beliau. Ketika suami itu datang kepada Syekh Kholil minta
tolong maka Syekh Kholil memberi saran untuk menghubungi pihak pelabuhan.
Kedatangan sang suami kepada Syekh
Kholil sampai tiga kali bukan karena Syekh Kholil pelit atau tidak
tahu apa yang harus beliau lakukan, makanya saya kurang sreg dengan kalimat
“karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.” Saya rasa itu hanya
gubahan penulis atau perawi. Syekh Kholil pasti tahu sejak awal bahwa sang
suami itu ingin sekali menyelesaikan masalahnya, beliau tidaklah baru menyadari setelah kedatangan yang ketiga.
Siapa yang mengaggap problem sang suami itu tidak serius?!Syekh Kholil tidak langsung berdoa sejak
kedatangan pertama karena memang sang suami itu tidak minta
doa, dan sebagai orang yang tawadhu’,
beliau tidak langsug menawarkan doa, karena menawarkan doa bisa
saja terkesan menganggap dirinya punya doa manjur. Dari situ kita dapat melihat ketawadhu’an Syekh Kholil, baik
di hadapan Allah maupun di hadapan manusia. Hal ini berbeda dengan
“kiai dukun” yang justru pasang iklan seoalah-olah berkata: “Mintalah doa pada
saya, karena doa saya manjur.” Inilah yang membedakan antara “kiai wali” dengan “kiai dukun”, yaitu tawadhu’ di
hadapan Allah dan di hadapan manusia.
[9] Bermimpi
seseorang wanita tidak harus sering atau habis memikirkannya sebelum tidur, maka jangan sampai mengira bahwa mungkin saja Kiai Bahar memikirkan istri
gurunya sebelum tidur.
[10] Kemarahan Syekh Kholil bukan karena Kiai Bahar bersalah sebab mimpi itu, melainkan semacam hardikan agar
Kiai Bahar melupakan mimpi itu, agar tidak diingat lagi walaupun untuk
menyesalinya.
[11] Tugas itu sebenarnya bukan
hukuman, Syekh Kholil menyebutnya
hukuman untuk tidak membuat bingung santri-santri
yang lain, sehingga di mata mereka, Bahar dihukum karena tidak shalat
berjamaah. Adapun sebenarnya itu adalah ujian sebagaimana yang juga sering
diberikan pada murid lainnya.
[12] Sakti
mandraguna menurut paham sang Residen, karena ia tidak mengerti soal wali dan
karomah.
[13] Ada
suatu kesalahan yang banyak dipahami oleh orang awam, baik di Madura maupun di Jawa, mereka pikir semua orang Arab itu “Habib”. Habib adalah julukan yang diberikan oleh orang Yaman terhadap keturunan Rasulullah.
Kemudian julukan ini menjadi populer juga di berbagai negara, walaupun sebenarnya hanya lebih populer
di kalangan Habib dari Yaman sendiri atau yang mengenalnya. Dalam menjuluki Habib, orang Madura atau Jawa
-yang paham maksudnya- sebenarnya hanya ikut-ikutan
orang Yaman saja, itu juga dipakaikan pada Habib yang berasal dari Yaman atau
yang masih kental ke”Yaman”anya. Orang Madura atau Jawa sebenarnya
tidak punya julukan khusus untuk keturunan Rasulullah secara umum, maka dari itu mereka tidak menjuluki Syekh
Kholil dan sebagainya dengan “Habib” walaupun tahu bahwa mereka juga cucu
Rasulullah. Bagi Mereka, Habib adalah curu Rasululullah yang di Arab atau yang
masih menggunakan kebangsaan Arab. Dalam cerita ini, mengingat sebagian orang Madura menganggap semua orang
Arab itu Habib, maka hendaknya dimaklumi bahwa Habib dalam cerita ini belum
tentu Habib yang sebenarya, mungkin saja
orang Arab biasa. Kalaupun ternyata memang Habib sebenarnya, hendaknya
dimaklumi bahwa cerita ini tidak menyimpulkan bahwa ada seorang bahngsa Sayyid
dikalahkan seorang bangsa Madura, karena sebenarnya Syekh Kholil juga bangsa
Sayyid yang telah njawani sejak dari leluhurnya.
[14] Sebenarnya tidak semua orang Arab fasih tajwidnya,
baik yang di Indonesia maupun
yang di Arab sekalipun, kecuali yang memang belajar tajwid. Saya jadi teringat waktu
ngobrol dengan Sayyid Anis Bin Syihab Malang, beliau berkata dengan nada berkelakar: “Watak orang Arab itu
memang PD-an, kalau mereka datang ke kampung-kampung
kemudian disuruh jadi imam langsung aja maju, padahal baca Qur’annya masih
bagus orang Jawa.” Yakni orang Jawa kampung yang pada umumnya
belajar tajwid sejak kecil.
[15] Apabila
air itu benar-benar terbukti pernah menyembuhkan penyakit
seseorang, maka ada dua kemungkinan bagaimana proses kemujaraban air itu.
Pertama, mungkin air itu memang mengandung zat yang berguna untuk penyembuhan,
maka berarti air itu dapat menyembuhkan secara medis, walaupun tidak ada yang
megerti tentang hal itu. Namun bukan berarti tidak ada hubungannya dengan
karomah Syekh Kolil, melainkan ketika Syekh Kholil menemukan sumber itu maka
berarti beliau telah melakukan hal yang luar biasa. Kedua, mungkin air itu
hanya air biasa, namun air itu menjadi mujarab berkat Syekh Kholil. Adapun
prosesnya adalah dengan tabarruk, yakni memohon berkah kepada Allah
dengan perantara benda bekas orang shaleh. Ketika seseorang datang
dan meminum air Kolla Al-Asror, mereka berkeyakinan bahwa Kolla itu adalah
peninggalan Syekh Kholil yang mereka yakini sebagai orang shaleh kekasih Allah.
Mereka bertabarruk dengan air kolla itu sebagaimana yang dibenarkan oleh
Syari’at Islam.
Masalah Tabarruk
Masalah ini perlu saya bahas agar tidak ada yang
salah paham mengenai cerita diatas. Tabarruk adalah bagian daripada tawassul,
yaitu mengambil perantara didalam berdoa kepada Allah. Yang dimaksud mengambil
perantara adalah merayu Allah dengan
menyebut-nyebut orang yang dicintai Allah. Ketika seseorang
bertawassul dengan Nabi, misalnya, maka seolah-olah ia berkata: “Ya Allah,
kalau Nabi saja aku cintai karena beliau kekasih-Mu, maka apalagi Engkau, tentu
Engkau lebih aku cintai. Maka berkat cinta ini kabulkanlah doaku”. Itulah yang
dimaksud tawassul. Adapun tabarruk adalah bertawassul dengan menyentuh benda-benda yang berhubungan dengan kekasih Allah. Maka tabarruk masih
dalam rentetan tawassul. Ketika seseorang bertabarruk dengan baju
bekas orang shaleh, misalnya, maka seolah-olah ia berkata: “Ya Allah, kalau
baju bekas orang shaleh saja aku cintai, apalagi orang shaleh yang punya baju.
Dan karena aku mencintai orang shaleh itu karena dia adalah kekasih-Mu, maka
apalagi Engkau, tentu Engkau lebih aku cintai. Maka berkat cinta ini
kabulkanlah doaku.”
Orang yang menentang tawassul dan tabarruk itu
sebenarnya disebabkan karena ia tidak mengerti tentang dua hal, yaitu tidak
mengerti maksudnya dan tidak mengerti bahwa Syari’at Islam mengajarkan tawassul
dan tabarruk sebagai salah satu cara beribadah.
Tawassul diajarkan dalam Syari’at Islam, diantara
dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Allah
SWT berfiran:
يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ..
“Wahai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan ambillah perantara kepadaNya..” (Q.S. Al-Maidah : 35)
2. Allah
SWT berfirman:
أُولـئِكَ
الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
“Mereka adalah orang-orang yang berdoa
dengan mengambil perantara kepada Tuhan mereka.” (Q.S. Al-Isra’ : 57).
3. Allah
berfirman:
.. وَكَانُوْا
مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلى الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا
عَرَفُوْا كَفَرُوْا بِهِ ..
“.. Dan adalah mereka sebelumnya telah
memohon (kepada Allah) akan kemenangan atas orang-orang kafir. Dan ketika
datang apa yang mereka kenal itu merekapun kemudian mengingkarinya. ..” (Q.S. Al-Baqarah : 89)
Kata
Sahabat Abdullah bin Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ktasir dalam
Tafsirnya, Yang dimaksud ayat itu adalah orang Yahudi Khaibar, ketika berperang dengan orang-orang Ghathfan, mereka terdesak
dan kemudian berdoa kepada Allah berta-wassul
dengan Nabi akhir zaman. Akan tetapi setelah Rasulullah muncul mereka malah mengingkari beliau. Riwayat
ini menyimpulkan bahwa Allah membenarkan
orang yang bertawassul dengan orang shaleh walaupun ia belum lahir,
apabila kelahiranya telah dikabarkan oleh Allah.
4. Ketika memakamkan ibu
Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang bernama
Fathimah binti Asad, Rasulullah turun sendiri ke liang lahat kemudian memuji
Allah dan berdoa:
اِغْفِرْ
لِأُمِّيْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا
مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِيْ ..
“Ampunilah ibuku, Fathimah
binti Asad, dan tuntunlah ia akan hujjahnya
(jawaban pertanyaan kubur) dan lapangkanlah
tempatya, dengan kebenaran Nabi-Mu dan Nabi-Nabi sebelumku..” (H.R. Ath-Thabrani dan Ad-Dailami,
dinyatakkan shahih oleh Al-Haitsami)
Hadits
ini menyimpulkan bahwa tawassul dengan orang shaleh yang telah meninggal itu
juga diajarkan oleh Rasulullah, karena para Nabi yang ditawassuli oleh beliau
telah meninggal semua.
5. Al-Imam Ath-Thabrani meriwayatkan dalam kedua kitabnya, “Al-Mu’jam Al-Kabir” (9/17) dan “Al-Mu’jam
Ash-Shaghir” (hal. 201), bahwa Sahabat Utsman bin Hunaif meriwayatkan, bahwa
suatu ketika ada seseorang yang datang menemui Khalifah Utsman bin Affan, orang
itu datang dengan suatu keperluan, akan tetapi (mungkin karena sibuk dengan
suatu masalah) Khalifah tidak menaggapinya. Maka Utsman bin Hunaif berkata kepadanya:
“Berwudhu’lah
dan shalat dua raka’at, kemudian bacalah:
اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ وَأَتَوَجَّهُ
إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا
مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلى اللهِ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضى لِيْ
Ya
Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepadamu dengan Nabi
kami, Muhammad Nabi rahmat. Wahai Nabi Muhammad, denganmu aku menghadap Tuhanku
dalam urusan keperluanku ini agar dipenuhinya.
Kemudian
kembalilah menemui Khalifah.”
Orang
itupun melakukan himbauan Utsman bin Hunaif kemudian kembali mendatangi
Khalifah Utsman bin Affan. Begitu menemui pengawal ia langsung dibawa masuk dan
Khalifah mempersilahkan dia duduk di dekatnya, iapun ditanya apa keperluannya
dan Khalifahpun langsung memenuhinya. Seberanjaknya dari Khalifah, orang itu
langsung menemui Utsman bin Hunaif dan berkata: “Semoga Allah membalas jasamu
dengan baik. Semula Khalifah sama sekali tidak mempedulikanku, bahkan tidak mau
menoleh sedikitpun paadaku, sampai engkau membantuku dengan berbicara padanya.”
Orang itu mengira Utsman bin Hunaif telah memberi rekomendasi pada Khalifah
Utsman bin Affan. Maka Utsman bin Hunaif berkata: “Demi Allah, aku tidak
berbicara apa-apa pada Khalifah, akan tetapi aku pernah menyaksikan Rasulullah
SAW ketika didatangi seseorang mengadukan
matanya yang buta. Rasulullah berkata: “Kalau kau mau maka kau bisa
bersabar, dan kalau kau mau maka aku akan mendoakanmu.” Orang itu menjawab: “Ya
Rasulallah, kebutaan ini menyulitkan saya, karena saya tidak punya siapa-siapa
untuk menuntun saya.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Berwudhu’lah dan shalatlah
dua raka’at kemudia berdoalah .. dst.” Yaitu doa diatas. Utsman bin Hunaif
melanjutkan dan berkata: “Orang itupun melakukan apa yang diajarkan Rasulullah
SAW. Dan demi Allah, tidak beberapa lama kemudian orang itupun kembali dengan
keadaan dapat melihat, seolah-olah matanya tidak pernah sakit sama sekali.”
Riwayat
ini menyimpulkan dua hal:
Pertama,
bahwa bertawassul dengan orang shaleh yang hidup dan memanggil namanya dari jauh itu tidak apa-apa, walaupun yang ditawassuli tidak
mendengar panggilannya, karena dalam riwayat diatas Utsman bin Hunaif berkata
“tidak beberapa lama orang itupun kembali dengan keadaan dapat melihat”, maka
berarti orang itu membaca doa tawassul yang ada kalimat “ya Rasulullah”nya
tidak di hadapan Rasulullah SAW.
Kedua,
bahwa bertawassul dengan orang shaleh yang telah meninggal dunia itu tidak
apa-apa, karena cerita diatas terjadinya pada zaman Khalifah Utsman bin Affan
dan Rasulullah SAW telah meninggal dunia.
6. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan tentang tiga
orang yang terperangkap dalam gua karena tiba-tiba ada batu besar terjatuh dari
atas gunung dan menutup pintu gua itu. Kemudian mereka bertawassul dengan
menyebut amal shaleh mereka masing-masing, sehingga batu itupun bergeser dan
terbukalah pintu gua. Hadits ini menyimpulkan bahwa bertawassul dengan amal
shaleh juga diajarkan oleh Rasulullah SAW.
7. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud meriwayatkan bahwa
suatu ketika Rasulullah mencukur rambut untuk tahallul haji, kemudian rambut
itu beliau serahkan pada Sahabat Thalhah untuk dibagikan pada Sahabat-sahabat
yang lain. Maka para sahabatpun berebut rambut Rasulullah, tentu saja
untuk ngalap berkah (tabarruk), karena rambut tidak bisa
dimakan. Diantara mereka ada yang mencelup rambut Rasulullah ke dalam air
kemudian airnya diminumkan pada orang sakit.
8. Al-Hafizh Ibnu Hajar meriwayatkan dalam kitabya,
“Al-Mathalib Al-‘Aliyah” (4/90), bahwa Sahabat Khalid bin Al-Walid berebut
rambut Rasulullah ketika bercucukur untuk tahallul umroh, kemudian rambut itu
segera ia selipkan di kopiahnya. Khalid berkata: “Dalam memimpin setiap
pertempuran aku selalu menang tanpa cedera sedikitpun apabila aku memakai
kopiah yang ada rambut Rasulullah itu.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani dan Abu Ya’la serta dinyatakan shahih oleh Al-Haitsami dan
Al-Bushiri.
9. Al-Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Asma’ binti Abi
Bakar memiliki jubah Rasulullah dan beliau berkata: “Jubah ini dulunya ada pada
Aisyah, setelah ia meninggal akupun mewarisinya. Jubah itu pernah dipakai oleh
Rasulullah SAW. Maka kamipun suka merendam jubah itu ke dalam air dan airnya
kami minumkan pada orang sakit untuk
mengharap kesembuhan.
Ketiga
hadis terakhir ini menyimpulkan bahwa Rasulullah membenarkan tabarruk dengan
benda bekas orang shaleh. Dan masih banyak lagi Hadits-hadits shahih yang
meriwayatkan tentang bagaimana para Sahabat bertabarruk dengan benda-benda
bekas Nabi yang lain, seperti potongan kuku, bekas air wudhu dan sebagainya.
Kesimpulannya, tawasul dan tabarruk itu diajarkan
oleh syari’at. Tawassul boleh dengan Amal shaleh, dengan Nabi, Malaikat dan
orang-orang shaleh, baik mereka belum lahir, masih hidup maupun telah meninggal
dunia. Sejak zaman Sahabat Nabi, semua ulama sepakat akan hal itu, tidak ada
yang berbeda pendapat sampai muncullah seorang bernama Ibnu Taimiyah, iapun
banyak menimbulkan masalah dengan pendapat-pendapat kontrofersialnya, termasuk
pendapatnya bahwa tawassul dengan orang yang telah meninggal itu termasuk jenis
syirik. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah pernah
melakukan kebohongan dengan mengatakan bahwa tidak ada ulama yang
membolehkan tawassul dengan orang yang telah meninggal, seperti yang ia tulis
dalam kitab “At-Tawassul wal-Wasilah” (hal.24). Padahal dalam kitabnya yang
lain, yaitu “Al-Fatawa Al-Kubra” (1/351), Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya membolehkan tawassul
dengan Nabi.
Diantara Hadits tawassul, mereka hanya mau menerima
riwayat Utsman bin Hunaif saja sebagai Hadits yang benar-benar shahih, itupun
mereka tidak mau menerima pendapat Utsman yang bertawassul dengan Rasulullah
setelah beliau wafat. Mereka hanya mau menerima bahwa Rasulullah mengajarkan
tawassul ketika beliau masih hidup.
Untuk itu saya kemukakan beberapa hal berikut:
a. Kalau mereka menolak Hadits-hadits yang lain yang
telah dishahihkan oleh ulama ahli Hadits semacam Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Al-Asqalani, Al-Qusthallani dan
sebagainya, maka kita tinggal memilih saja, kita lebih percaya terhadap
keahlian siapa dalam ilmu Hadits. Siapa Ibnu Taimiyah dibanding mereka? Dia
digelari “Syaikhul Islam” hanya oleh pengikut fanatiknya saja, sementara hampir
semua ulama besar justru pernah
menasehati umat agar tidak tertipu oleh pendapat-pendapatnya.
Apakah kita akan percaya pernyataan
Ibnu Taimiyah dan mencampakkan nama-nama besar itu yang masing-masing
mereka bergelar “Al-Hafizh” yang berarti telah hafal sedikitnya sepuluh ribu
Hadits dengan sanadnya? Apakah kita lebih percaya pada Ibnu Taimiyah yang
banyak memberi pernayataan “plin-plan” dalam berbagai kitabnya? Dalam segi ketelitian berargumentasi, Ibnu
Taimiyahsudah jelas nampak kacau balau, ia tidak memenuhi syarat
walaupun untuk disebut sebagai “peneliti”, apalagi untuk disebut sebagai “ahli Hadits! Lantasbagaimana
mungkin kita mau memegang omongannya!
b. Ketika mereka (Ibnu Taimiyah dan pegikutnya) menyatakan haram atau syirik terhadap tawassul
dengan orang meninggal, maka berarti mereka menganggap sesat dan
syirik terhadap perbuatan Utsman bin Hunaif, berarti Sahabat Nabi ada yang
sesat dan syirik. Beranikah mereka katakan itu di hadapan Rasulullah?
c. Kita tidak usah membicarakan Hadits yang lain.
Kalaupun hanya riwayat Utsman bin Hunaif yang shahih, bahwa Rasulullah
mengajarkan tawassul sewaktu beliau hidup, riwayat ini sama sekali tidak
menyimpulkan bahwa tawassul dengan Nabi itu hanya berlaku selama beliau hidup.
Seandainya memang tawassul dengan orang meninggal itu sesat maka tentu
Rasulullah adalah orang yang paling hawatir umat beliau tersesat, maka tentu
beliau akan berpesan pada orang yang diajari tawassul itu agar “tawassul dengan
Nabi” tidak dipakai setelah beliau wafat. Kenyataannya Rasulullah menyuruh
tawassul dengan diri beliau tanpa mengkhususkan selama beliau hidup. Maka
barang siapa mengkhususkan sesuatu yang tidak dikhususkan oleh Rasulullah, maka
ia jelas-jelas telah melakukan bid’ah yang sesat.
d. Mereka berdalih dengan sebuah riwayat shahih bahwa
Khalifah Umar bin Khaththab pernah bertawassul dengan Sayyidina Abbas bin Abdul
Muththalib, paman Nabi, pada saat shalat istisqa’ setelah Nabi wafat. Mereka,
pikir, kalau memang tawassul dengan orang meninggal itu boleh maka tentu
Khalifah Umar akan bertawassul dengan Nabi. Paham ini sebenarnya sangat dangkal
dan nampak sekali kesan pemaksaannya hanya demi untuk mendukung pendapat
mereka. Coba kita perhatikan berita kalimat ini: “Umar bertawassul dengan
Abbas, waktu tawassulnya setelah Nabi wafat”. Jujur saja, kalimat ini memberi
dua kesimpulan, yang pertama sifatnya pasti dan yang kedua sifatnya hanya
mungkin. Pertama, berarti boleh bertawassul dengan selain Nabi. Yang kedua,
bisa jadi Umar menganggap tidak boleh bertawassul dengan orang meninggal,
makanya beliau bertawassul dengan Abbas yang masih hidup. Kemungkinan yang
kedua ini hanya “bisa jadi”, artinya bisa juga tidak. Nah, dalam kaidah Ushul
Fiqih, memutuskan suatu hukum itu harus berdasarkan nash (dalil) yang tidak
memiliki banyak kemungkinan kesimpulan. Kaidah mengatakan:
عِنْدَ وُجُوْدِ
الاِحْتِمَالِ سَقَطَ الاِسْتِدْلاَلُ
“Ketika ada kemungkinan maka gururlah penggunaan
dalil.”
Jadi,
orang yang mengerti Ushul Fiqih akan merasa malu untuk menjadikan riwayat Umar
ini sebagai hujjah untuk mengharamkan tawassul dengan orang yang telah
meninggal.
e. Mereka mengaggap tawassul dengan orang yag telah
meninggal sebagai syirik, kalau dengan orang yang masih hidup maka tidak.
Lantas apa bedanya? Bertawassul dengan seseorang itu karena melihat status
orang yang ditawassuli, karena kita mengaggap dia sebagai kekasih Allah. Nah,
status kekasih Allah itu tidak berubah setelah ia meninggal. Sebagian mereka
berkata bahwa orang yang telah meninggal itu tidak bisa memberi manfaat
sebagaimana orang yang masih hidup.” Yang lain berkata: “Allah itu Maha Dekat
dan Mendengar, mengapa kita tidak langsung saja berdoa kepada Allah tanpa
perantara!” Maka pernyataan itu semakin memperjelas kesahpahaman mereka.
Berarti, menurut mereka, tawassul itu minta pada orang yang ditawassuli. Ini
sudah jelas keluar dari arti "bertawassul dengan seseorang”. Dari segi
bahasa saja mereka telah salah memahami arti tawassul. Secara bahasa, tawassul
itu artinya memohon dengan merengek atau merayu. Maka bertawassul dengan
seseorang itu artinya meminta kepada Allah dengan sebuah rayuan berupa menyebut
orang yang dicintai Allah. Sama dengan merayu Zaid bin Umar, misalnya, dengan
berkata “Saya penggemar orang tua Anda, maka demi dia, tolonglah saya.” Coba
perhatikan, siapa yang dimintai diatara Zaid dan Umar itu? Zaid, Umar atau
dua-duanya? Kalau ada yang bilang berarti minta pada Umar atau pada dua-duanya
Zaid dan Umar, berarti orang itu belum bisa disebut “bisa berbahasa dengan
benar”.
Itulah beberapa hal yang semoga dapat membantu mereka untuk
memahami arti tawassul. Baragkali mereka memang kurang punya sopan santun
sehingga tidak menghormati ulama-ulama ahli Hadits dan sembarangan menyebut
mereka sesat. Setidak-tidaknya agar mereka
tidak buru-buru menganggap sesat dan syirik terhadap mereka
Syirik yang sebenarnya
Syirik yang sebenarnya adalah ketika kita meminta pada
seseorang, baik yang diminta itu masih hidup atau sudah mati, dengan
berkeyakinan bahwa dia mampu memberi dengan kemampuan mutlak sebagaimana
kemampuan yang dimiliki Allah. Coba kita tanya pada orang yang bertawassul
dengan para wali itu, seawam apapun mereka tidak pernah meyakini bahwa para
wali yang ditawassuli itu mampu memberi
dengan kemampuan mutlak sebagaimana kemampuan yang dimiliki Allah.
Demikian pula dengan tabarruk, ketika
mereka menyentuh, mencium dan meminum
air rendaman benda bekas orang shaleh, mereka tidak pernah
menganggap benda itu memiliki kekuatan
sebagaimana kekuatan yang dimiliki Allah. Mereka hanya berharap
dengan itu Allah tersentuh untuk mengabulkan doa mereka, atau berharap untuk
mendapat ridha Allah. Hal ini sama dengan perihal orang yang mencium hadiah pemberian Anda di hadapan
Anda. Coba apa yang Anda pikirkan tentang orang itu? Menurut Anda
apa yang ia tuju dengan mencium hadiah itu di hadapan Anda? Anda pasti berfikir
bahwa dia melakukan itu untuk membuat Anda senang. Demikian pulalah yang terjadi
pada orang yang bertabarruk, mereka berharap Allah senang dengan tabarruk itu,
karena yang mereka tabarruki adalah orang
atau benda bekas orang yang
dicintai Allah. Itulah yang terjadi pada umumnya kaum muslimin yang bertabarruk. Kecuali orang awam
yang memang masih dalam pengaruh kepercayaan kuno pra Islam. Dan untuk orang
seperti ini tentu saja kita wajib memberi pengarahan.
10. MENYUMBAT KAPAL LAUT
Sebagai pimpinan pesantren,
Kiai Kholil senantiasa mengimami sholat, tiba-tiba keluar dari jam’ah sholat
menuju ke halaman masjid. Tangan Kiai Kholil bergerak ke kanan-kiri seakan
berbuat sesuatu yang sangat menyibukkan. Hal ini sangat tidak dipahami para
santri. Mereka hanya diam seribu bahasa, menunggu apa yang akan terjadi
selanjutnya. Setelah beberapa lama Kiai Kholil di halaman, lalu kembali
mengimami sholat hingga selesai.
Beberapa hari berlalu, begitu pula
dengan kegiatan pesantren berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi bagi para
santri peristiwa aneh yang tidak bisa dipahami beberapa hari lalu tetap menjadi
tanda tanya. Para santri tetap penasaran sebelum terpecahkan. Hari demi hari
berlalu, tidak ada tanda-tanda pemecahan peristiwa yang selalu diingat itu.
Baru setelah beberapa hari setelah kejadian itu, datang beberapa orang
membawa bungkusan yang sangat banyak.
“Mau ke mana saudara-saudara ini?”
Tanya seorang santri kepada tamu yang baru datang.
“Saya akan menemui Kiai Kholil.
Seminggu yang lalu beliau telah menolong kami dari musibah bocor kapal kami.”
Jawab rombongan yang baru datang itu.
“Seminggu yang lalu?” Pikir santri.
Padahal beberapa minggu yang lalu, Kiai Kholil tidak pernah bepergian apalagi
menyeberang laut. Akhirnya santri tersebut mengantarkan rombongan yang baru
datang itu ke Kiai Kholil.
Seperti biasanya, kalau Kiai
kedatangan tamu, lalu bertanya:
“Ada keperluan apa?” Ucap Kiai
Kholil menyambut kedatangan tamu itu.
“Kami ingin mengucapkan terima kasih
berkat upaya Kiai yang menyumbat kapal laut kami yang bocor sehingga kami
selamat. Kami tentu akan tenggelam jika tidak ada Kiai dan harta kami semua akan hilang begitu saja.” Ucap rombongan
itu dengan wajah berseri-seri.
Para santri yang sengaja
mendengarkan pembicaraan di sekitar rombongan itu, seketika sadar dan memahami
tentang kejadian seminggu yang lalu.
Rupanya, ketika Kiai memimpin sholat jamaah lalu keluar ke halaman
masjid dalam upaya menyumbat kapal bocor. Pantas tangan Kiai sibuk bergerak
kian kemari. Sejak saat itu para santri menjadi tenang dan tidak penasaran lagi
tentang peristiwa yang selalu diingatnya itu.
11. TIGA TAMU DAN ISTIGFAR
Dan diantara karomahnya. Suatu hari. Kiai Kholil kedatangan tiga orang tamu secara
bersamaan. Lalu sang Kiai bertanya
kepada tamu yang pertama:
“Sampeyan ada
keperluan apa?”
“Saya seorang pedagang, Kiai. Hasil tidak didapat malah rugi terus menerus.”
Ucap tamu pertama memohon.
Setelah Kiai Kholil memandang sejenak ke arah tamu yang pertama,
lalu menjawab: ”Jika kamu ingin berhasil dalam berdagang, banyaklah berucap
istigfar.”
Setelah itu tamu
kedua menghadap: “Sampeyan ada perlu apa?”
Saya sudah
berkeluarga 18 tahun tapi saya belum diberi keturunan.”
Setelah Kiai
memandang kepada tamu kedua, maka
dijawablah: “Perbanyak istigfar.” Tandas Kiai.
Kini tiba giliran
pada tamu yang ketiga. Kiai langsung bertanya:, “Sampeyan ada perlu apa?”
“Saya usaha tani, Kiai, namun makin hari hutang saya makin banyak, sehingga tak mampu membayarnya.” Ucap tamu yang ketiga dengan muka raut yang
serius.
“Jika kamu ingin berhasil dan melunasi hutangmu, perbanyak istigfar.” Pesan Kiai kepada tamu
yang terakhir.
“Beberapa murid Kiai Kholil yang
melihat peristiwa itu merasa heran. Suatu persoalan yang berbeda, tapi dengan
jawaban yang sama, dengan resep yang
sama, yaitu menyuruh perbanyak istigfar.
Kiai Kholil mengetahui
keheranan para santri. Setelah tamunya pulang maka dipanggil para santri yang
penuh tanda Tanya itu. Lalu Kiai kholil membacakan surat nuh ayat 10-12 :
اِسْتَغْفِرُوْا
رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ مِدْرَاراً (11)
وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِيْنَ.. (12)
Artinya: Mohonlah ampun
kepada Tuhanmu, sesungguhnya dia maha pengampun, niscaya dia akan mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu.
Mendengar jawaban Kiai ini para
santri mengerti bahwa jawaban itu memang merupakan janji allah bagi siapa yang
memperbanyak baca istigfar. Memang benar. Tak lama setelah kejadian itu, ketiga
tamu semuanya berhasil apa yang dihajatkan.[1]
12. POLISI MENCARI PENCURI
Dan diantara karomahnya,
seperti dikisahkan di bawah ini. Sudah lama polisi memburu seorang pencuri yang malang melintang disekitar kota Bengkalan.
Beberapa cara telah dilakukan, namun hasilnya
nihil. Aparat kepolisian hampir putus asa. Mereka kewalahan
menangkap pencuri yang satu ini. Tidak
tahu cara apa yang harus ditempuh. Pada saat kebingungan mencari cara,
seorang polisi senior mendapat ide dan mengusulkan untuk sowan ke Kiai Kholil.
Setelah dipertimbangkan, polisi itu
memutuskan untuk menemui Kiai Kholil.
Setibanya di kediaman Kiai kholil, seperti halnya tamu yang
lainnya, Kiai menanyakan “Sampeyan ada keperluan apa?”.
“Saya memburu pencuri, Kiai. Seluruh
kota dan desa sudah dilacak, tapi tak ada hasil. Mohon petunjuk Kiai.” Ucap
polisi dengan penuh harap. Beberapa saat Kiai memandang tamunya. Tiba-tiba Kiai
memanggil seorang santri dan menyuruh membeli
urus-urus. Urus-urus adalah obat yang digunakan untuk cuci perut.
Istilah lainnya disebut broklat. Kiai Kholil
lantas menyuruh polisi yang ada dihadapannya itu untuk meminum
urus-urus.
“Saya minum ini, Kiai ?” Kata polisi
tadi, tak percaya dalam benaknya, apa
hubunganya dengan pencarian pencuri.
“Ya, minum
cepat!” Tegas Kiai Kholil sekali lagi.
Selesai meminum urus-urus, polisipun
disuruh pulang memakai kendaraan umum.
Dalam perjalanan pulang, tampaknya
urus-urus mulai beraksi. Perut sang polisi mulai mules-mules. Sampai disuatu tempat tertentu, rasa mules-mules sudah memuncak.
Tak ada jalan lain kecuali berhenti di tengah jalan dan mencari
sungai untuk buang hajat.
Setelah polisi berhenti, terlihat
ada sungai yang tampaknya cukup curam dan dalam. Karena hajat tidak bisa
ditahan lagi, maka walaupun rasa berat,
sang polisi menuju sungai yang sangat curam itu, ketika berada di curam yang paling bawah, disitulah sang polisi memergoki pencuri yang selama
ini dicarinya. Dengan sigap, polisi meringkus pencuri dan memborgolnya.
Dengan
tertangkapnya pencuri itu, sadarlah polisi
terhadap maksud mengapa Kiai Kholil menyuruh meminum urus-urus. Rupanya inilah
jalan yang harus ditempuh untuk mengetahui dan menangkap pencuri yang selama
ini malang melintang di Bangkalan.
13. SUMUR KIAI KHOLIL
Ketika Kholil muda nyantri di
Pesantren Cangaan Bangil bertepatan dengan musim kemarau panjang. Semua sumur mengalami kekeringan. Masyarakat
Cangaan mengalami kesulitan untuk mendapatkan air minum. Demikian
juga di dalam kompleks lingkungan pesantren yang dipimpin Kiai Asyik. Dalam
suasana seperti itu Kiai Asyik lalu memanggil Kiai Kholil menghadap:
“Kholil..” Kata Kiai Asyik agak
serius.
“Ya, Kiai.”
Jawab Kholil dengan sopan dan ta’zhim.
“Sekarang kamu
buat sumur, sebab saat ini musim
kemarau, kita kesulitan air.” Perintah Kiai Asyik.
“Insyaallah..” Jawab Kholil dengan
tenang.
Setelah
diperintahkan Kiai, segera Kholil mengambil sebuah serok untuk menggali sumur. Terdorong sikap patuhnya kepada Kiai Asyik, Kholil segera menggali sumur. Upaya Kholil berhasil baru
saja dia menggali satu meter ternyata air sudah
menyembur keluar. Hal ini sangat menyenangkan Kiai Asyik dan warga
pesantren. Berita sumur baru yang banyak
mengeluarkan air itu ternyata tidak lama kemudian terdengar oleh
masyarakat Cangaan Bangil. Betapa bahagianya masyarakat mendengar berita itu. Beberapa orangmasyarakat segera
pergi ke sumur untuk mendapatkan air. Sejak itu masyarakat Cangaan Bangil berbondong-bondong mengambil air di sumur tadi
sebanyak-banyaknya. Meskipun air sumur itu diambil terus-menerus oleh
masyarakat, namun air tetap melimpah.
Sumur itu sampai sekarang masih ada.
Warga pesantren memeliharanya dengan
baik warisan salah satu dari
karomah Kiai Kholil. Masyarakat Cangaan menamakannya “Sumur Kiai
Kholil”.
14. BERGURU DALAM MIMPI
Dan diantara karomahnya, adalah
terjadi pada saat akan mencari ilmu. Pada waktu Kholil muda, ada seorang Kiai
yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya
tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai
daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni
itu, terbetik di hatinya ingin menimba
ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah
Kholil muda ke pesantren Abu Darrin
dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang
dikagumi itu. Tetapi alangkah sedihnya
ketika dia sampai di Pesantren Wilungan,
ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari
sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin. Namun
karena tekad belajarnya sangat menggelora
maka Kholil segera sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di
makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam lalu berkata: “Bagaimana saya
ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal!”
Desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran.
Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41
hari lamanya.
Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah
Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan
beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil
serta merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.